
إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ ، وبَينَهُما أُمُورٌ مُشتَبهاتٌ ، لا يَعْلَمُهنّ كثيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقى الشُّبهاتِ استبرأ لِدينِهِ وعِرضِه ، ومَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ ، كالرَّاعي يَرعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرتَعَ فيهِ ، ألا وإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، ألا وإنَّ حِمَى اللهِ محارِمُهُ ، ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغَةً إذا صلَحَتْ صلَحَ الجَسَدُ كلُّه ، وإذَا فَسَدَت فسَدَ الجَسَدُ كلُّه ، ألا وهِيَ القَلبُ
“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa daerah terlarang milik Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, dan jika buruk menjadi buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah salah satu hadits yang menjadi pondasi dasar
agama Islam. Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan, “Pondasi dasar
agama Islam ada pada tiga hadits: hadits Umar (Sesungguhnya semua amalan
dengan niat), hadits Aisyah (barangsiapa membuat-buat hal baru dalam
urusan kami yang bukan termasuk padanya, pasti tertolak) dan hadits
Nu’man bin Basyir, (Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan yang
haram itu jelas).”
Halal, Haram dan Syubhat
Keagungan hadits ini akan nampak jelas ketika kita mengetahui
kandungan hadits ini. Cobalah kita renungkan sejenak. Sebagai hamba
Allah, kita dituntut untuk berlaku, berbuat dan beraktivitas sesuai
dengan aturan-aturan Allah. Ini adalah sesuatu hal yang wajar dan
maklum. Nah, ternyata hadits yang mulia ini telah menjelaskan secara
lengkap hukum dari segala sesuatu yang kita hadapi. Yang mana dengan
mengetahui hukum-hukum itu kita bisa bertindak sesuai dengan aturan
Allah. Tanpa mengetahuinya, kita akan bingung dan tentu saja tidak akan
bisa bertindak sesuai dengan aturan Allah.
Hadits di atas menjelaskan secara garis besar bahwa segala perkara
yang kita hadapi tidak bisa lepas dari salah satu tiga keadaan.
Pertama, sesuatu yang jelas kehalalannya dan diketahui oleh setiap
orang. Seperti halalnya buah-buahan, biji-bijian, jual beli yang jelas,
pakaian-pakaian yang tidak menyelisihi syariat, dan lain-lain banyak
sekali tanpa bisa dibatasi.
Kedua, sesuatu yang jelas keharamannya dan diketahui oleh setiap
orang. Seperti haramnya riba, perjudian, zina, pencurian, minuman khamr,
bangkai, darah, daging babi, dan lain sebagainya.
Ketiga, perkara-perkara yang samar, tidak diketahui oleh banyak orang
apakah ia termasuk perkara yang halal atau perkara yang haram, meskipun
orang lain mengetahui bahwa ia termasuk halal atau haram. Contohnya,
seperti makanan, minuman atau hal lain yang diperselisihkan kehalalan
atau keharamannya oleh para ulama. Golongan ketiga inilah yang akan
sedikit kita bicarakan di sini.
Maksud dan Penyebab Kesamaran (Syubhat)
Sesungguhnya apa yang Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam tinggalkan untuk umat ini berupa perkara yang halal ataupun yang
haram telah dijelaskan. Hanya saja penjelasan dari hal itu berbeda-beda
tingkat kejelasannya. Sebagian dari perkara-perkara itu ada yang sangat
gamblang penjelasannya, jelas dan mudah dipahami oleh seluruh manusia
sehingga jelaslah perkara itu apakah termasuk yang halal atau yang
haram. Namun sebagian yang lain lebih rendah tingkat kejelasannya
sehingga menimbulkan kesamaran bagi sebagian orang, terutama yang tidak
memiliki modal ilmu untuk memahami penjelasan tersebut.
Disamping itu, banyak sekali perkara-perkara yang jika dilihat dari
satu sisi memiliki kedekatan dengan perkara yang haram tapi dari sisi
lain memiliki kedekatan dengan perkara yang dihalalkan. Sehingga jadilah
keraguan untuk menetapkan apakah perkara ini termasuk perkara yang
halal atau haram.
Secara umum, kesamaran hukum suatu perkara itu bisa ditimbulkan
karena kesamaran yang terjadi pada salah satu dari dua sebab atau karena
keduanya. Pertama karena kesamaran dalil yang menunjukkan keharaman
atau kehalalan. Baik karena kesamaran dalam keabsahan dalil, atau karena
kesamaran pada ketegasan dalil dalam menunjukkan keharaman atau
kehalalan perkara yang dimaksud. Dan sebab kedua adalah kesamaran dalam
hal kecocokan atau ketepatan perkara yang akan dihukumi dengan dalil
yang menunjukkan keharaman atau kehalalan.
Dari sinilah timbul berbagai kesamaran hukum pada banyak perkara,
apakah ia merupakan hal yang halal atau hal yang haram. Kesamaran
seperti inilah yang dimaksud dengan syubhat antara halal dan haram yang
disebutkan dalam hadits di atas. Karena pada hakikatnya, semua perkara
itu hanya ada dua hukum saja yaitu halal atau haram.
Dan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
perkara-perkara yang samar (syubhat) tidak diketahui oleh banyak
manusia, menunjukkan bahwa ada banyak manusia lain yang mengetahui
hakikat perkara ini apakah termasuk halal ataukah haram. Sehingga,
perkara syubhat itu bersifat relatif, yakni samar bagi sebagian orang
namun tidak bagi yang lain. Atau samar bagi sebagian orang dalam jangka
waktu tertentu sampai akhirnya perkara itu menjadi jelas karena adanya
keterangan-keterangan yang menunjukkan pada hukum yang sebenarnya.
Bagaimana menyikapi?
Sesuatu yang telah jelas kehalalannya atau keharamannya, maka jelas
pula bagi kita bagaimana menyikapinya. Karena yang halal tentu saja
boleh kita lakukan sedangkan yang haram harus kita tinggalkan. Oleh
karena itu, ketika syubhat itu bersifat relatif, sebagaimana dijelaskan
di atas, maka bagi orang yang telah mengetahui hakikat suatu perkara
apakah termasuk yang halal atau haram, meskipun perkara itu bagi orang
lain termasuk syubhat, dia harus menyikapinya sesuai dengan hukum yang
dia ketahui. Jika haram maka dia tinggalkan namun jika halal berarti dia
boleh mengambilnya.
Adapun bagi orang yang memiliki kesamaran hukum pada suatu perkara
tertentu, maka hadits di atas telah memberikan bimbingan dan pengarahan
yang jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka
siapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri
untuk agama dan kehormatannya.”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu merupakan pengarahan
bagi siapa saja yang menghadapi perkara syubhat, untuk meninggalkannya
dan tidak menjerumuskan diri kepadanya. Karena perkara syubhat ini jelas
meragukan. Sedangkan dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada
perkara yang tidak meragukan.” (Riwayat at-Tirmidzi dan dia berkata,
hadits hasan shahih)
Dan alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengarahkan kita
untuk menjauhi syubhat nampak pada perkataan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah
membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.”
Yakni, dengan kita menjauhi syubhat, berarti kita telah berusaha
menjaga diri kita dari perkara yang haram. Sehingga kita berarti telah
membersihkan diri dalam agama, dalam hubungan kita dengan Allah. Dan
dengannya kita pun akan terbebas dari pembicaraan manusia akan
kehormatan kita. Karena jika kita melakukan perkara yang syubhat, banyak
orang akan mengatakan fulan melakukan ini dan itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan, “Dan siapa
yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam
perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan
(binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan
masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dijelaskan oleh para ulama dengan dua kemungkinan makna.
Pertama, orang yang masuk ke dalam syubhat, berarti dia telah
melakukan perkara yang haram. Karena dengan terjerumusnya dia ke dalam
syubhat berarti dia telah melakukan suatu hal yang tidak didasari dengan
ilmu. Dan perbuatan ini jelas diharamkan oleh Allah. Padahal adanya
syubhat padanya menunjukkan bahwa dia tidak memiliki ilmu yang pasti
tentangnya.
Makna kedua, masuknya seseorang ke dalam syubhat adalah jalan kepada
perkara yang haram. Yakni, ketika dia bermudah-mudah dalam perkara
syubhat, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam perkara yang haram
dan meremehkannya. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan ternaknya
di sekitar daerah larangan, sangat dikhawatirkan ternaknya akan masuk
ke daerah larangan tersebut.
Apapun kemungkinan maknanya, yang jelas di sini adalah petunjuk bagi
kita untuk meninggalkan segala perkara yang syubhat, yang meragukan,
sehingga kita benar-benar mengetahui hukumnya secara yakin. Dan Allah
lah satu-satunya Dzat yang memberikan taufiq.
Artikel www.majalahsakinah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar